Sabtu, 22 Agustus 2015

PANCA YADNYA

A.     Pendahuluan

            Yadnya merupakan pengorbanan yang tulus iklas dan tanpa pamrih yang dilandasi dengan ketulusan hati yang mulia. Yadnya berasal dari Bahasa Sansekerta, dari kata “Yaj” yang berarti memuja, dari “Yaj” menjadi “Yajna” artinya korban suci, jadi Yadnya adalah korban suci yang tulus iklas yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Secara garis besar Yadnya dapat dikelompokan menjadi lima bagian yang disebut dengan Panca Yadnya yaitu:
1.      Dewa Yadnya
2.      Rsi Yadnya
3.      Pitra Yadnya
4.      Manusa Yadnya
5.      Bhuta Yadnya
Adanya Panca Yadnya disebabkan karena adabya tiga jenis hutang yang dimiliki oleh setiap manusia yang disebut Tri Rna. Tri Rna berasal dari kata Tri yang berarti tiga, dan Rna berarti hutang. Jadi Tri Rna adalah tiga hutang yang harus dibayar kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bagiannya adalah:
1.      Dewa Rna
Dewa Rna merupakan hutang yang harus dibayar kehadapan Dewa. Dewa Rna menimbulkan adanya Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
2.      Rsi Rna
Rsi Rna merupakan hutang yang harus dibayar kepada Maha Rsi atau guru. Rsi Rna menimbulkan adanya Rsi Yadnya.
3.      Pitra Rna
Pitra Rna merupakan hutang yang harus dibayar kepada Pitara atau leluhur. Pitra Rna menimbulkan adanya Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
            Jadi pelaksanaan Yadnya merupakan kesadaran untuk melepaskan diri dari ikatan hutang sehingga manusia bisa terbebas belenggu penderitaan, dalam ajaran Agama Hindu disebut dengan “Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma”.
B.     Permasalahan
1.      Apa tujuan dan manfaat Dewa Yadnya?
2.      Apa tujuan dan manfaat Rsi Yadnya?
3.      Apa tujuan dan manfaat Pitra Yadnya?
4.      Apa tujuan dan manfaat Manusa Yadnya?
5.      Apa tujuan dan manfaat Bhuta Yadnya?
6.      Apa fungsi bawang dan jahe pada Segehan?

C.     Arti dan Tujuan Yadnya
Yadnya berasal urat kata Yaj yang berarti memuja atau mengadakan keselamatan. Jadi Yadnya artinya pemujaan suci, pengorbanan suci, yang dilakukan dengan perasaan tulus iklas baik yang dilakukan pada setiap hari maupun pada waktu-waktu tertentu dengan tidak mengharapkan hasil atau balasan. Dapat pula dikatakan bahwa Yadnya itu adalah penyaluran tenaga untuk kepentingan bersama. Penyaluran demikian adalah “Hukum”, sebab manusia dalam hidupnya di dunia ini bersifat “Anrcamsa”.
            (A=tidak, nr=diri sendiri, cams=memuja) yaitu hidup sosial, cinta kasih dan berkesadaran bahwa setiap manusia itu pada hakekatnya adalah sama. Tat Twam Asi artinya aku adalah kamu.
            Perkembangan hidup manusia yang lebih tinggi ditandai oleh penyaluran tenaganya untuk kepentingan atau pengorbanan atas dirinya sendiri, yaitu pengabdian sejati, Icwara-Pranidanha(Icwara=Tuhan, Prani= Nyawa, Dhana=Persembahan) kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
            Maksud, tujuan dan fungsi pelaksanaan Yadnya adalah memuja, mengabdi, berkorban untuk kebahagian bersama.
D.    Dasar-Dasar Pelaksanaan Yadnya
1.    Berdasarkan pelaksanaan Dharma
2.    Ada unsur-unsur pengabdian yang tulus iklas
3.    Kemauan berkorban dengan tiada mengharapkan pembalasan atau pujian, juga tiada paksaan
4.    Agar diliputi oleh rasa bakti yang sedalam-dalamnya
5.    Mengandung dasar pikiran yang suci, rasa cinta, kasih dan sayang
6.    Dapat menentramkan jiwa
7.    Selalu bertujuan untuk kesejahteraan dan kesentausaan bersama
8.    Dalam pelaksanaanya selalu ada unsur-unsur kebaikan dan kebijakan
E.     Dasar Hukum Yadnya
Dasar hukum Yadnya yang terdapat dalam Bhagawadgita III. 12 yang menyebutkan:
Istan bhogan hi wo deva
Dasyante yajna bhawitah
Tair dattan apradayaibhyo
Yo bhunkte stena eva sah      (Masniwara,97, hal 168)
            Terjemahannya :
            Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh dewa-dewa karena yadnyamu, sedangkan itu yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnyanya sesungguhnya adalah pencuri.
            Jadi, Yadnya apapun yang kita lakukan bersifat jasmaniah atau kebendaan, maupun rohaniah atau tuntutan jiwa, jika dilakukan dengan penuh keiklasan dan keyakinan akan dapat membawa kita menuju cita-cita kita, yaitu hidup lahir batin.
            Dalam Brahmana Purana : 20, disebutkan bahwa tujuh kesadaran yang diberikan okeh Hyang Cista kepada mahluk ialahtidak tamak, memberi, kesetiaan, kebenaran, ilmu pengetahuan, kesabaran, dan Yadnya.
            Dalam Manava Dharmasastra : Buku 122 menyebutkan :
            Karmatmanam ca dewanam so, srjatpranimam prabhuh,
Sadhyanam ca gunam suksmam yajnam caiwa sanatanam.
            Terjemahannya:
            Tuhan yang menciptakan tingkatan-tingkatan dari pada dewa-dewa, yang memiliki hidup, dan mempunyai sifat bergerak, juga diciptakan tingkat “sadhya” yang berbadan halus serta upacara-upacara yang kekal.
            Sloka ini menyebutkan bahwa apa yang di alam semesta ini semuanya berasal dari Tuhan, maka dari itu kita sebagai umat beragama wajib mempersembahkan apa yang akan kita nikmati.
F.     Pelaksanaan Yadnya di dalamnya Berbagai Tingkatan
1.      Yadnya dalam bentuk pelaksanaan memuja, ditujukan kepada:
a.      Sang Hyang Widhi Wasa dan semua manifestasi perwujudan beliau
b.      Para Dewa atau Dewi dan Para Awatara selaku penyelamat dan pelindung Dharma di dunia ini
c.       Para Leluhur, terutama yang sudah berjiwa suci
2.      Yadnya dalam bentuk pelaksanaan memberikan penghormatan,ditujukan kepada :
a.      Orang-orang yang berkedudukan lebih tinggi
b.      Kepada pejabat-pejabat pemerintah
c.       Kepada orang-orang yang lebih tua umur atau pengalamannya
d.      Kepada orang-orang yang berjasa dan kepada para tetamu yang berkunjung ke rumah atau ke wilayah kita
3.      Yadnya dalam bentuk pelaksanaan pengabdian, ditujukan kepada keluarga, masyarakat,negara, nusa, bangsa tanah air dan kepada perikemanusiaan, sedangkan pengabdian tertinggi ialah: pengabdian untuk Tuhan Yang Maha Esa.
4.      Yadnya dalam bentuk pelaksanaanmencintai, mengasihi atau menyayangi setiap umat atau makhluk : terutama  di tujukan kepada yang keadaannya sangat menderita, sangat melarat, dan sangat menyedihkan. Dari perasaan kasih sayang dan cinta kasih itu timbulah kemauan untuk memberikan atau pertolongan.
5.      Yadnya dalam bentuk pelaksanaan berkorban, hal ini bisa melalui pengorbanan benda-benda, pengorbanan dengan tenaga, pikiran jiwa dan raga. Yang penting adalah cara memberikan tulus ikhlas, demi untuk mengabdi kepada Dharma.
G.    Jenis-Jenis Pelaksanaan Yadnya
Umat hindu didalam hidup dan kehidupannya sehari hari lalu diliputi oleh yadnya yang diiringi berbagai bentuk untuk jenis upacaranya.pelaksanaanyadnya yang berjenis-jenis itu tentang tujuannya tiada menyimpang dari prinsipinti ajaran dharma.

H.    Bagian-Bagian Yadnya
a.      Dewa Yadnya
b.      Rsi Yadnya
c.       Pitra Yadnya
d.      Manusa Yadnya
e.       Bhuta Yadnya
Pengertian Bagian Yadnya
1.      Dewa Yadnya
Dewa Yadnya adalah korban suci dengan tulus iklas kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) dengan jalan cinta bakti dan sujud memuja serta mengikuti segala ajaran-ajaran suci-Nya melakukan Tirta Yatra.
Ketentuan-ketentuan yang harus diketahui dalam melaksanakan Dewa Yadnya:
a.      Tempatnya di tempat yang bersih dan memiliki suasana kesucian, misalnya pura.
b.      Adanya Sanggar Surya sebagai syarat minimal yaitu sebagai pengganti Padma Sana, tempat bertahannya Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
c.       Adanya sesajen, haturan dengan bahan utama yang terdiri dari api, air bersih, buah dan bunga.
Adapun tata cara melaksanakan Dewa Yadnyaialah:
a.      Pelinggih Ida Hyang Widhi Wasa diberi upacara penyucian
b.      Memohon dengan pujaan semoga Sang Hyang Widhi datang dan bersthana di pelinggih itu dipakai puja upeti
c.       Menghantarkan upacara penyucian dengan diantar oleh puja sthihi
d.      Sembahyang yang diakhiri dengan metirta
e.       Upacara penutup disebut “nyimpen” dengan memakai puja pralina.
2.      Pitra Yadnya
Pitra yadnya ialah korban suci yang tulus ikhlah kepada leluhur dengan memujakan keselamatannya di akhirat serta selanjutnya memelihara keturunannya dan menuruti semua tuntunannya .
Ketentuan –ketentuan upacara pitra yadnya
Pitra yadnya dilakukan dengan cara ;
1.Sawa Prateka
Sawa Prateka dibagi dalam dua yaitu ;
a.Sawa Wedana ,didalam mana termasuk Asti Wedana
b.Swasta
2.Atma Wedana
Sawa Prateka artinya; penyelenggaraan mayat untuk kembali kepada panca Maha Bhuta [alam semesta ],yaitu ;unsur –unsur air ,api ,tanah ,hawa dan ether dengan cara dibakar atau dikuburkan .sawa wedana ialah ; Upacara pembakaran mayat yang masih diketemukan
Asti Wedana ialah ;Upacara setelah mayat menjadi tulang ,abunya yang kemudian dianyut kesungai atau kelaut .
Swastw ialah ;Upacara pembakaran atas mayat yang tidak dapat diketemukan .
Atma Wedana artinya ;Upacara mengembalikan atama dari Bhur Loka [bumi ] dan bhuvah loka [alam] ke svuah loka [sorga atau alam Hyang Widhi].
Pelaksanaannya:
Sawa Prateka dilakukan dengan jalan:
1.      Mayat dimandikan dengan air bersih dan terakhir dengan air kumkuman
2.      Segala lubang yang ada dibadan ditutup, lubang hidung, telinga, mulut, dan lainnya
3.      Digulung dengan kain putih
4.      Dibakar atau ditanam
Sawa Wedana yaitu membakar mayat di kubur dengan cara:
1.      Mayat dibakar dengan api suci
2.      Abunya dipuja dan kemudian dihanyutkan kesungai atau ke laut
3.      Memakai bahan sesajen yang terutama terdiri dari api, air suci dan bunga besar
4.      Diantar dengan sembah oleh sanak keluarga kehadapan Hyang Widhi, dan terakhir bersujud pada Sang Pitara(Roh Leluhur)
Selain dari pembakaran mayat yang secara Sawa Wedana, ada juga secara Swata jika mayat tak mungkin ditemukan lagi, upacara ini dilakukan dengan menggantikan dengan kusa caria(jalinan lalang yang berbentuk badan manusia) atau dengan toya carira (air suci ditambah dengan bunga-bungaan). Setelah itu dibakar dengan upacara yang sama dengan Sawa Sedana. Setelah upacara Sawa Wedana berakhir, maka ada upacara Atma Wedana.
Upacara Atma Wedana dengan ketentuan sebagai berikut:
a)      Tempatnya dirumah atau di suatu tempat yang lain yang telah ditentukan
b)      Simbol dari Atma ini Puspa Carira atau Toya Sarira
c)      Banten terutama terdiri dari air, api, bunga-bungaan tertentu yang harum
d)      Diantara dengan puja pralina oleh sulinggih yang diakhiri dengan membakar puspa sarira itu
e)      Sanak keluarga menyembah ke hadapan Sang Hyang Widhi dan akhirnya kepada Sang Pitara
f)       Abu Puspa Carira di hanyutkan ke laut atau air sungai yang bermuara ke laut
Pelaksanaan penguburan mayat itu harus memenuhi beberapa syarat antara lain:
a)      Jurusan kuburan harus menghadap matahari terbit dan ke arah gunung setempat
b)      Adapun lubang kuburan dalamnya minimal satu setengah meter
c)      Sebelum kuburan itu dipergunakan harus diberi upacara penyucian dan permakluman kepada Sang Hyang Praja Pati.
Sesudah 12 hari lamanya terjadi kematian itu, maka perlu dibuat sesajen ala kadarnya upacara ini disebut Ngerorasin.
Jenis-jenis Ngaben:

3.      Rsi Yadnya
Rsi Yadnya adalah korban suci yang tulus iklas untuk kesejahteraan para Rsi serta mengamalkan segala ajarannya.
a)      Menobatkan sulinggih menjadi orang suci agama
b)      Membangun tempat pemujaan untuk para Rsi
c)      Menghaturkan punia kepada Para Rsi
d)      Menaati dan mengamalkan ajaran-ajaran Para Rsi
e)      Membantu pendidikan agama bagi calon Sulinggih
Mediksa dan Medwijati artinya disucikan menurut ketentuan dan untuk tujuan keagamaan umpamanya untuk menjadi pendeta atau sulinggih. Yakni yang mengandung maksud bahwa dalam hubungan-hubungan niskala ialah agar Roh yang meninggal itu tidak terikat dengan unsur-unsur keluarga.
Sehubungan dengan Pitra Yadnya, maka disini perlu dipertegas bahwa yang oaling baik adalah agar mayat itu selambat-lambatnya dapat dibakar dalam 7 hari setelah meninggal.
Kata Diksa artinya Suci. Kata Dwijati artinya lahir dua kali. Maksudnya bahwa manusia itu lahir pertama dari perut ibu ke dunia ini. Tetapi agar orang itu tetap hidup di dalam agama, maka ia perlu dilahirkan untuk kedua kalinya yaitu dari dunia ke dunia ini yang pernah di Dwijatikan.
Tetapi yang perlu diketahui dan dilaksanakan olehn orang-orang biasa pada umumnya bahwa untuk menyucikan diri itu cukup dilakukan dengan jalan Mewinten saja. Orang yang belum disiksa atau didwijati atau mewinten tak berhak sama sekali mewintenkan orang lain.



4.      Bhuta yadnya
Bhuta yadnya ialah korban suci yang tulus ikhas kepada sekalian makhluk bawahan yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan untuk memelihara kesejahteraan alam semesta

1)      Dengan mengadakan upacara korban terhadap makhluk yang tak kelihatan serta kekuatan alam semesta yang di namai mecaru atau tingkatan caru dari yang terkecil sampai yang terbesar ialah :
a)      Saiban/jotan
Upacara bhuta yadnya ini merupakan tingkatan yang paling sederhana atau nistaning nista, yang di lakukan setiap hari sehabis menanak nasi. Banten saiban di lakukan dengan beberapa nasi lengkap dengan lauk pauk seadana, minimal dengan garam putih.
b)      Segehan
Upacara bhuta yadnya jenis segehan ini dapat di lakukan pada hari-hari tertentu yang di sebut dengan rerainan,misalnya purnama, tilem, kajeng kliwon, anggar kasih, buda cemeng atau buda wage, tumpek (sabtu kliwon) dan hari-hari suci yang lebih besar lainnya.
c)      Catur eka sata
Catur eka sata, yaitu upacara bhuta yadnya yang dilakukan dengan menggunakan seekor ayam brumbun. Caru ini sering disebut dengan caru pengruwak. Caru pengruwak, yaitu caru untuk membuka lahan tempat-tempat suci atau lahan pekarangan.
d)      Caru panca sata
Caru panca sata, yaitu upacara bhuta yadnya yang dilakukan menggunakan lima ekor ayam yang berwarna warni sesuai dengan tempatnya, seperti ayam yang berwarna putih ditempatkan di arah timur, warna merah ditempatkan di arah selatan, warna kuning di arah barat, warna hitam ditempatkan di arah utaradan warna brumbun di tengah.
e)      Caru Rsi Ghana
Caru Rsi Ghana, yaitu upacara Bhuta Yadnya yang dilakukan dengan menggunakanlima ekor ayam brumbun dan ditambah dengan satu ekor itik.
f)       Caru Panca Kelud
Caru panca Kelud yaitu upacara Bhuta Yadnya yang dilakukan dengan menggunakan lima ekor ayam yang berwarna warni, seperti Caru Panca Sata ditambah dengan lima ekor binatang, seperti anjing, kambing, babi, itik, angsa.
g)      Caru Tawur Agung
Caru Tawur Agung yaitu upacara Bhuta Yadnya yang dilakukan dengan menggunakan lima ekor binatang seperti Caru Panca Kelud ditambah dengan satu ekor kerbau sebagai landasannya. Upacara ini dilakukan setahun sekali, yaitu pada Tawur Agung Kesanga. Tepatnya pada tilem sasih kesanga, sehari sebelum hari raya nyepi,untuk menyambut tahun baru saka
H]Caru Tabuh Gentuh
Caru Tabuh Gentuh,yaitu upacara Bhuta Yadnya yang dilakukan dengan menggunakan lima ekor binatang,ditambah dengan satu ekor kerbau.Upacara ini dilakukan setiap 5 tahun sekali,pelaksanaannya samadengan upacara Tawur Kesanga
I]Caru Panca Wali Krama
Caru Panca Wali Krama yaitu upacara bhuta yadnya yang dilakukan dengan menggunakan 5 ekor binatang ditambah dengan satu ekor kerbau nyang dilaksanakan di pura Agung Besakih setiap 10 tahun sekali.
J]Caru Eka Dasa Rudra
Caru Eka Dasa Rudra merupakan upacara yadnya yang di lakukan setiap100 sekali di pura Besakih.
2) Dengan menjaga dan menyelengrakan kehidupan mahluk antara laian  binatang-binatang peliharaan serta tanaman-tanaman deng sebaik-baiknya
5.      Manusa Yadnya
Manusa Yadnya ialah:Korban suci yang tulus iklas untuk keselamatan serta kesejahteraanmanusia lainnya.
Cara-caranya ada bermacam –macam yaitu:
1)      Mengadakan upacara selamatan pada waktu:
a)      Bayi dalam kandungan atau Garbha Wedana ( megedong-gedongan)
b)      Bayi baru lahir
c)      Bayi berumur 42 hari ( tutug kambuhan)
d)      Bayi berumur tiga bulan(nelu bulanin)
e)      Bayi berumur enam bulan(otonan)
f)       Anak meningkat dewasa(raja sewala)
g)      Potong gigi(metatah)
h)     Pernikahan
2)      Mengadakan usaha untuk kemajuan serta kebahagian anak dalam masyarakat antara lain: pendidikan, dan kesehatannya(Dharma Santana Widhi)
3)      Menolong serta menghormati sesama umat Hindu, misalnya: menghormati tamu (atiti Karma) serta menolong orang lain dalam kesusahan serta mengadakan usaha-usaha sosial lainnya untuk kesejahteraan masyarakat dan Negara(Dana Punya).
Upacara- Upacara Manusa Yadnya
1)      Upacara Magedong-Gedongan
Upacara pagedong-gedongan ini dilaksanakan selambat-lambatnya pada saat kandungan berumur 7 bulan, upacara ini dilaksanakan bertujuan untuk menyucikan janin dalam kandungan, agar nantinya terlahir anak yang Suputra. Upacara Pagedong-gedongan ini dilaksanakan setiap terjadinya suatu kehamilan pada si Ibu.

2)      Bayi Lahir
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.

3)      Upacara 12 hari bayi baru lahir
Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan pada saat puser bayi lepas.
A.     Sarana :
 Banten penelahan: Beras kuning, daun dadap.
 Banten kumara: Hidangan berupa nasi putih kuning, beberapa jenis kue,              buahbuahan (pisang emas), canang, lengawangi, burat wangi, canang sari.
  Banten labaan: Hidangan/ nasi dengan lauk pauknya.
 Segehan empat buah dengan warna merah, putih, kuning, dan hitam. Masingmasing berisi bawang, jahe dan garam.
Waktu Upacara kepus puser dilaksanakan pada saat bayi sudah kepus pusernya, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tempat Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si bayi. Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh keluarga yang tertua (sesepuh), atau jika tidak ada, orang tua si bayi.

4)      Bayi berusia 12 hari
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama dheya) demikian pula sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.

5)      Bayi Berusia 42 hari
Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala).

6)      Upacara tiga bulanan
Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon.
Sarana Upakara kecil: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
Sarana Upakara besar: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal, banten panglukatan, banten turun tanah.

Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.


7)      Otonan ( Bayi Berusia 210 hari)
Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.

8)      Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)
Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik.

Sarana :
Upacara kecil : Petinjo kukus dengan telor.
Upacara besar : Petinjo kukus dengan ayam atau itik, dilengkapi dengan tataban.

Waktu Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh gigi yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Tempat Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh seorang pandita / pinandita atau salah seorang anggota keluarga tertua.

9)      Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)
Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan.
Sarana :
     1. Banten byakala dan sesayut tatebasan.
     2. Canang sari.

Waktu Saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal gigi. Upacara ini dapat pula disatukan dengan wetonan berikutnya. Tempat Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara dipimpin oleh keluarga tertua.

Tata Cara :
     1. Pemujaan mempersembahkan sesajen kehadapan Hyang Widhi Wasa.
     2. Si anak bersembahyang.
     3. Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan natab sesayut / tetebasan.
     4. Si anak diperciki tirtha.
10)  Upacara menek deha (Rajaswala)
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.

Sarana :
Banten pabyakala, banten prayascita, banten dapetan, banten sesayut tabuh rah (bagi wanita), banten sesayut ngraja singa (bagi Iaki-laki), banten padedarian.
           
Waktu Upacara menginjak dewasa (munggah deha) dilaksanakan pada saat putra/ putrid sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama.
11)  Upacara Potong Gigi

Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada diri si manak.
Sarana :
            1. Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2. Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah dihias.
            3. Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4. Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak rasanya.
            5. Pengurip-urip yang terdiri dari kunyit serta pecanangan lengkap dengan isinya.

Waktu Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga. Tempat Seluruh rangkaian upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. Pelaksana Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).
12)  Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.

Sarana
     1. Segehan cacahan warna lima.
     2. Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
     3. Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
     4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
     5. Pejati.
     6. Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).



     7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
     8. Bakul.
  9. Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.

Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara
1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
- Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
- Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
- Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.

Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.

Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.



13)   

Segehan.
Segehan adalah ritual kurban atau caru dalam tingkatan kecil atau sederhana dari suatu yadnya. Tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur.

Oleh sebagian masyarakat Bali, misalnya di Kabupaten Badung juga dikenal dengan sebutan blabaran. Kata blabaran berasal dari kata blabar ’banjir’, mendapat sufiks –an menjadi blabaran berarti ‘kebanjiran’. Konon, sebutan itu digunakan berdasarkan mimpi yang dialami seseorang.
Maksudnya, apabila ada orang yang bermimpi terkena musibah banjir atau kebanjiran, itu merupakan pertanda buruk. Sehubungan dengan itu, orang yang bersangkutan harus segera mempersembahkan sesuatu kepadaTuhan atau manifestasi-Nya untuk menangkal mara bahaya yang mungkin akan menimpanya.
Segehan juga merupakan sebuah wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali yang memiliki bentuk beraneka ragam, sesuai dengan keperluan.

Fungsi dari sěgěhan ada empat, yaitu :
·         Untuk sarana persembahan.
·         Untuk permohonan.
·         Untuk penghormatan
·         Untuk membayar hutang (Bhuta Rnam; Tri Rna).
Berikut beberapa pengertian, tetandingan banten segehan dan saa mantra segehan yaitu :

1.      Segehan Saiban, tetandingan banten jotan atau banten saiban.
2.      Segehan pulangan, segehan manca warna.
3.      Sěgěhan Sah-Sah.
4.      Sěgěhan Cah-cahan
5.      Sěgěhan Agung
6.      Sěgěhan Wong-Wongan.
7.      Segehan Kepel Gede
8.      Segehan Tuutan.
9.      Segehan Tumpeng.
10.  Segehan Tulak.

Demikian dijelaskan beberapa jenis segehan dalam artikel Bhujangga 
Dharma Indonesia (ref), yang sebagaimana disebutkan pula dalam kutipan fungsi canang sari dan segehan, selain berisikan nasi kepel juga berisi :


·         Porosan Silih Asih yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya. 
·         Bunga, cukup sehelai.
·         Garam  sebagai simbol satwam : sifat kebijaksanaan.
·         Irisan bawang sebagai simbol tamas : sifat kemalasan.
·         Irisan jahe sebagai simbol rajas : sifat keserakahan.
Garam, bawang dan jahe merupakan simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada asalnya.
Demikian disebutkan segehan dari beberapa kutipan. 


"SEMUA MATERI DI ATAS SUDAH SAYA RINGKAS. MATERI INI MUDAH DIPELAJARI DAN DIPAHAMI. SEMOGA BERMAFAAT YA. SALAM UMAT HINDU SEDHARMA."