A.
Pendahuluan
Yadnya merupakan pengorbanan yang
tulus iklas dan tanpa pamrih yang dilandasi dengan ketulusan hati yang mulia.
Yadnya berasal dari Bahasa Sansekerta, dari kata “Yaj” yang berarti memuja,
dari “Yaj” menjadi “Yajna” artinya korban suci, jadi Yadnya adalah korban suci
yang tulus iklas yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Secara
garis besar Yadnya dapat dikelompokan menjadi lima bagian yang disebut dengan
Panca Yadnya yaitu:
1.
Dewa Yadnya
2.
Rsi Yadnya
3.
Pitra Yadnya
4.
Manusa Yadnya
5.
Bhuta Yadnya
Adanya Panca
Yadnya disebabkan karena adabya tiga jenis hutang yang dimiliki oleh setiap
manusia yang disebut Tri Rna. Tri Rna berasal dari kata Tri yang berarti tiga,
dan Rna berarti hutang. Jadi Tri Rna adalah tiga hutang yang harus dibayar
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bagiannya adalah:
1.
Dewa Rna
Dewa Rna
merupakan hutang yang harus dibayar kehadapan Dewa. Dewa Rna menimbulkan adanya
Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
2.
Rsi Rna
Rsi Rna
merupakan hutang yang harus dibayar kepada Maha Rsi atau guru. Rsi Rna
menimbulkan adanya Rsi Yadnya.
3.
Pitra Rna
Pitra Rna
merupakan hutang yang harus dibayar kepada Pitara atau leluhur. Pitra Rna
menimbulkan adanya Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
Jadi pelaksanaan Yadnya merupakan
kesadaran untuk melepaskan diri dari ikatan hutang sehingga manusia bisa
terbebas belenggu penderitaan, dalam ajaran Agama Hindu disebut dengan
“Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma”.
B.
Permasalahan
1. Apa
tujuan dan manfaat Dewa Yadnya?
2. Apa
tujuan dan manfaat Rsi Yadnya?
3. Apa
tujuan dan manfaat Pitra Yadnya?
4. Apa
tujuan dan manfaat Manusa Yadnya?
5. Apa
tujuan dan manfaat Bhuta Yadnya?
6. Apa
fungsi bawang dan jahe pada Segehan?
C.
Arti dan Tujuan Yadnya
Yadnya
berasal urat kata Yaj yang berarti memuja atau mengadakan keselamatan. Jadi
Yadnya artinya pemujaan suci, pengorbanan suci, yang dilakukan dengan perasaan
tulus iklas baik yang dilakukan pada setiap hari maupun pada waktu-waktu
tertentu dengan tidak mengharapkan hasil atau balasan. Dapat pula dikatakan
bahwa Yadnya itu adalah penyaluran tenaga untuk kepentingan bersama. Penyaluran
demikian adalah “Hukum”, sebab manusia dalam hidupnya di dunia ini bersifat
“Anrcamsa”.
(A=tidak, nr=diri sendiri, cams=memuja) yaitu hidup
sosial, cinta kasih dan berkesadaran bahwa setiap manusia itu pada hakekatnya
adalah sama. Tat Twam Asi artinya aku adalah kamu.
Perkembangan hidup manusia yang
lebih tinggi ditandai oleh penyaluran tenaganya untuk kepentingan atau
pengorbanan atas dirinya sendiri, yaitu pengabdian sejati,
Icwara-Pranidanha(Icwara=Tuhan, Prani= Nyawa, Dhana=Persembahan) kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa.
Maksud, tujuan dan fungsi
pelaksanaan Yadnya adalah memuja, mengabdi, berkorban untuk kebahagian bersama.
D. Dasar-Dasar
Pelaksanaan Yadnya
1. Berdasarkan
pelaksanaan Dharma
2. Ada
unsur-unsur pengabdian yang tulus iklas
3. Kemauan
berkorban dengan tiada mengharapkan pembalasan atau pujian, juga tiada paksaan
4. Agar
diliputi oleh rasa bakti yang sedalam-dalamnya
5. Mengandung
dasar pikiran yang suci, rasa cinta, kasih dan sayang
6. Dapat
menentramkan jiwa
7. Selalu
bertujuan untuk kesejahteraan dan kesentausaan bersama
8. Dalam
pelaksanaanya selalu ada unsur-unsur kebaikan dan kebijakan
E. Dasar
Hukum Yadnya
Dasar hukum Yadnya yang
terdapat dalam Bhagawadgita III. 12 yang menyebutkan:
Istan bhogan hi wo deva
Dasyante yajna bhawitah
Tair dattan apradayaibhyo
Yo bhunkte stena eva sah (Masniwara,97,
hal 168)
Terjemahannya :
Sesungguhnya
keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh dewa-dewa
karena yadnyamu, sedangkan itu yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi
yadnyanya sesungguhnya adalah pencuri.
Jadi,
Yadnya apapun yang kita lakukan bersifat jasmaniah atau kebendaan, maupun
rohaniah atau tuntutan jiwa, jika dilakukan dengan penuh keiklasan dan
keyakinan akan dapat membawa kita menuju cita-cita kita, yaitu hidup lahir
batin.
Dalam
Brahmana Purana : 20, disebutkan bahwa tujuh kesadaran yang diberikan okeh
Hyang Cista kepada mahluk ialahtidak tamak, memberi, kesetiaan, kebenaran, ilmu
pengetahuan, kesabaran, dan Yadnya.
Dalam
Manava Dharmasastra : Buku 122 menyebutkan :
Karmatmanam
ca dewanam so, srjatpranimam prabhuh,
Sadhyanam ca gunam suksmam yajnam caiwa
sanatanam.
Terjemahannya:
Tuhan
yang menciptakan tingkatan-tingkatan dari pada dewa-dewa, yang memiliki hidup,
dan mempunyai sifat bergerak, juga diciptakan tingkat “sadhya” yang berbadan
halus serta upacara-upacara yang kekal.
Sloka
ini menyebutkan bahwa apa yang di alam semesta ini semuanya berasal dari Tuhan,
maka dari itu kita sebagai umat beragama wajib mempersembahkan apa yang akan
kita nikmati.
F. Pelaksanaan Yadnya di dalamnya Berbagai Tingkatan
1. Yadnya dalam bentuk pelaksanaan memuja, ditujukan kepada:
a. Sang Hyang Widhi Wasa dan semua manifestasi perwujudan
beliau
b. Para Dewa atau Dewi dan Para Awatara selaku penyelamat
dan pelindung Dharma di dunia ini
c. Para Leluhur, terutama yang sudah berjiwa suci
2. Yadnya dalam bentuk pelaksanaan memberikan
penghormatan,ditujukan kepada :
a. Orang-orang yang berkedudukan lebih tinggi
b. Kepada pejabat-pejabat pemerintah
c. Kepada orang-orang yang lebih tua umur atau pengalamannya
d. Kepada orang-orang yang berjasa dan kepada para tetamu
yang berkunjung ke rumah atau ke wilayah kita
3. Yadnya dalam bentuk pelaksanaan pengabdian, ditujukan
kepada keluarga, masyarakat,negara, nusa, bangsa tanah air dan kepada
perikemanusiaan, sedangkan pengabdian tertinggi ialah: pengabdian untuk Tuhan
Yang Maha Esa.
4. Yadnya dalam bentuk pelaksanaanmencintai, mengasihi atau
menyayangi setiap umat atau makhluk : terutama
di tujukan kepada yang keadaannya sangat menderita, sangat melarat, dan
sangat menyedihkan. Dari perasaan kasih sayang dan cinta kasih itu timbulah
kemauan untuk memberikan atau pertolongan.
5. Yadnya dalam bentuk pelaksanaan berkorban, hal ini bisa
melalui pengorbanan benda-benda, pengorbanan dengan tenaga, pikiran jiwa dan
raga. Yang penting adalah cara memberikan tulus ikhlas, demi untuk mengabdi
kepada Dharma.
G. Jenis-Jenis Pelaksanaan Yadnya
Umat hindu didalam
hidup dan kehidupannya sehari hari lalu diliputi oleh yadnya yang diiringi
berbagai bentuk untuk jenis upacaranya.pelaksanaanyadnya yang berjenis-jenis
itu tentang tujuannya tiada menyimpang dari prinsipinti ajaran dharma.
H. Bagian-Bagian Yadnya
a. Dewa Yadnya
b. Rsi Yadnya
c. Pitra Yadnya
d. Manusa Yadnya
e. Bhuta Yadnya
Pengertian Bagian Yadnya
1. Dewa Yadnya
Dewa Yadnya adalah korban suci dengan tulus iklas kehadapan Tuhan Yang
Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) dengan jalan cinta bakti dan sujud memuja
serta mengikuti segala ajaran-ajaran suci-Nya melakukan Tirta Yatra.
Ketentuan-ketentuan yang harus diketahui dalam melaksanakan Dewa Yadnya:
a. Tempatnya di tempat yang bersih dan memiliki
suasana kesucian, misalnya pura.
b. Adanya Sanggar Surya sebagai syarat minimal
yaitu sebagai pengganti Padma Sana, tempat bertahannya Ida Sang Hyang Widhi
Wasa.
c. Adanya sesajen, haturan dengan bahan utama
yang terdiri dari api, air bersih, buah dan bunga.
Adapun tata cara melaksanakan Dewa Yadnyaialah:
a. Pelinggih Ida Hyang Widhi Wasa diberi upacara
penyucian
b. Memohon dengan pujaan semoga Sang Hyang Widhi
datang dan bersthana di pelinggih itu dipakai puja upeti
c. Menghantarkan upacara penyucian dengan
diantar oleh puja sthihi
d. Sembahyang yang diakhiri dengan metirta
e. Upacara penutup disebut “nyimpen” dengan
memakai puja pralina.
2. Pitra Yadnya
Pitra yadnya ialah korban suci yang tulus
ikhlah kepada leluhur dengan memujakan keselamatannya di akhirat serta
selanjutnya memelihara keturunannya dan menuruti semua tuntunannya .
Ketentuan –ketentuan upacara pitra yadnya
Pitra yadnya dilakukan dengan cara ;
1.Sawa Prateka
Sawa Prateka dibagi dalam dua yaitu ;
a.Sawa Wedana ,didalam mana termasuk Asti Wedana
b.Swasta
2.Atma Wedana
Sawa Prateka artinya; penyelenggaraan mayat
untuk kembali kepada panca Maha Bhuta [alam semesta ],yaitu ;unsur –unsur air
,api ,tanah ,hawa dan ether dengan cara dibakar atau dikuburkan .sawa wedana
ialah ; Upacara pembakaran mayat yang masih diketemukan
Asti Wedana ialah ;Upacara setelah mayat
menjadi tulang ,abunya yang kemudian dianyut kesungai atau kelaut .
Swastw ialah ;Upacara pembakaran atas mayat
yang tidak dapat diketemukan .
Atma Wedana artinya ;Upacara mengembalikan
atama dari Bhur Loka [bumi ] dan bhuvah loka [alam] ke svuah loka [sorga atau
alam Hyang Widhi].
Pelaksanaannya:
Sawa Prateka dilakukan dengan jalan:
1. Mayat dimandikan dengan air bersih dan
terakhir dengan air kumkuman
2. Segala lubang yang ada dibadan ditutup,
lubang hidung, telinga, mulut, dan lainnya
3. Digulung dengan kain putih
4. Dibakar atau ditanam
Sawa Wedana yaitu membakar mayat di kubur dengan cara:
1. Mayat dibakar dengan api suci
2. Abunya dipuja dan kemudian dihanyutkan
kesungai atau ke laut
3. Memakai bahan sesajen yang terutama terdiri
dari api, air suci dan bunga besar
4. Diantar dengan sembah oleh sanak keluarga
kehadapan Hyang Widhi, dan terakhir bersujud pada Sang Pitara(Roh Leluhur)
Selain dari pembakaran mayat yang secara Sawa
Wedana, ada juga secara Swata jika mayat tak mungkin ditemukan lagi, upacara
ini dilakukan dengan menggantikan dengan kusa caria(jalinan lalang yang
berbentuk badan manusia) atau dengan toya carira (air suci ditambah dengan
bunga-bungaan). Setelah itu dibakar dengan upacara yang sama dengan Sawa
Sedana. Setelah upacara Sawa Wedana berakhir, maka ada upacara Atma Wedana.
Upacara Atma Wedana dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Tempatnya dirumah atau di suatu tempat yang
lain yang telah ditentukan
b) Simbol dari Atma ini Puspa Carira atau Toya
Sarira
c) Banten terutama terdiri dari air, api,
bunga-bungaan tertentu yang harum
d) Diantara dengan puja pralina oleh sulinggih
yang diakhiri dengan membakar puspa sarira itu
e) Sanak keluarga menyembah ke hadapan Sang
Hyang Widhi dan akhirnya kepada Sang Pitara
f) Abu Puspa Carira di hanyutkan ke laut atau
air sungai yang bermuara ke laut
Pelaksanaan penguburan mayat itu harus memenuhi beberapa syarat antara
lain:
a) Jurusan kuburan harus menghadap matahari
terbit dan ke arah gunung setempat
b) Adapun lubang kuburan dalamnya minimal satu
setengah meter
c) Sebelum kuburan itu dipergunakan harus diberi
upacara penyucian dan permakluman kepada Sang Hyang Praja Pati.
Sesudah 12 hari lamanya terjadi kematian itu, maka perlu dibuat sesajen
ala kadarnya upacara ini disebut Ngerorasin.
Jenis-jenis Ngaben:
3.
Rsi
Yadnya
Rsi Yadnya adalah korban suci yang tulus iklas untuk kesejahteraan para
Rsi serta mengamalkan segala ajarannya.
a) Menobatkan sulinggih menjadi orang suci agama
b) Membangun tempat pemujaan untuk para Rsi
c) Menghaturkan punia kepada Para Rsi
d) Menaati dan mengamalkan ajaran-ajaran Para
Rsi
e) Membantu pendidikan agama bagi calon
Sulinggih
Mediksa dan Medwijati artinya disucikan menurut ketentuan dan untuk
tujuan keagamaan umpamanya untuk menjadi pendeta atau sulinggih. Yakni yang
mengandung maksud bahwa dalam hubungan-hubungan niskala ialah agar Roh yang
meninggal itu tidak terikat dengan unsur-unsur keluarga.
Sehubungan dengan Pitra Yadnya, maka disini perlu dipertegas bahwa yang
oaling baik adalah agar mayat itu selambat-lambatnya dapat dibakar dalam 7 hari
setelah meninggal.
Kata Diksa artinya Suci. Kata Dwijati artinya lahir dua kali. Maksudnya
bahwa manusia itu lahir pertama dari perut ibu ke dunia ini. Tetapi agar orang
itu tetap hidup di dalam agama, maka ia perlu dilahirkan untuk kedua kalinya
yaitu dari dunia ke dunia ini yang pernah di Dwijatikan.
Tetapi yang perlu diketahui dan dilaksanakan olehn orang-orang biasa
pada umumnya bahwa untuk menyucikan diri itu cukup dilakukan dengan jalan
Mewinten saja. Orang yang belum disiksa atau didwijati atau mewinten tak berhak
sama sekali mewintenkan orang lain.
4. Bhuta yadnya
Bhuta yadnya ialah korban suci yang tulus
ikhas kepada sekalian makhluk bawahan yang kelihatan maupun yang tidak
kelihatan untuk memelihara kesejahteraan alam semesta
1)
Dengan
mengadakan upacara korban terhadap makhluk yang tak kelihatan serta kekuatan
alam semesta yang di namai mecaru atau tingkatan caru dari yang terkecil sampai
yang terbesar ialah :
a)
Saiban/jotan
Upacara
bhuta yadnya ini merupakan tingkatan yang paling sederhana atau nistaning
nista, yang di lakukan setiap hari sehabis menanak nasi. Banten saiban di
lakukan dengan beberapa nasi lengkap dengan lauk pauk seadana, minimal dengan
garam putih.
b)
Segehan
Upacara
bhuta yadnya jenis segehan ini dapat di lakukan pada hari-hari tertentu yang di
sebut dengan rerainan,misalnya purnama, tilem, kajeng kliwon, anggar kasih,
buda cemeng atau buda wage, tumpek (sabtu kliwon) dan hari-hari suci yang lebih
besar lainnya.
c)
Catur
eka sata
Catur
eka sata, yaitu upacara bhuta yadnya yang dilakukan dengan menggunakan seekor
ayam brumbun. Caru ini sering disebut dengan caru pengruwak. Caru pengruwak,
yaitu caru untuk membuka lahan tempat-tempat suci atau lahan pekarangan.
d)
Caru
panca sata
Caru
panca sata, yaitu upacara bhuta yadnya yang dilakukan menggunakan lima ekor
ayam yang berwarna warni sesuai dengan tempatnya, seperti ayam yang berwarna
putih ditempatkan di arah timur, warna merah ditempatkan di arah selatan, warna
kuning di arah barat, warna hitam ditempatkan di arah utaradan warna brumbun di
tengah.
e)
Caru
Rsi Ghana
Caru
Rsi Ghana, yaitu upacara Bhuta Yadnya yang dilakukan dengan menggunakanlima
ekor ayam brumbun dan ditambah dengan satu ekor itik.
f)
Caru
Panca Kelud
Caru
panca Kelud yaitu upacara Bhuta Yadnya yang dilakukan dengan menggunakan lima
ekor ayam yang berwarna warni, seperti Caru Panca Sata ditambah dengan lima
ekor binatang, seperti anjing, kambing, babi, itik, angsa.
g)
Caru
Tawur Agung
Caru Tawur Agung yaitu upacara Bhuta Yadnya
yang dilakukan dengan menggunakan lima ekor binatang seperti Caru Panca Kelud
ditambah dengan satu ekor kerbau sebagai landasannya. Upacara ini dilakukan
setahun sekali, yaitu pada Tawur Agung Kesanga. Tepatnya pada tilem sasih
kesanga, sehari sebelum hari raya nyepi,untuk menyambut tahun baru saka
H]Caru Tabuh Gentuh
Caru Tabuh Gentuh,yaitu upacara Bhuta Yadnya
yang dilakukan dengan menggunakan lima ekor binatang,ditambah dengan satu ekor
kerbau.Upacara ini dilakukan setiap 5 tahun sekali,pelaksanaannya samadengan
upacara Tawur Kesanga
I]Caru Panca Wali Krama
Caru Panca Wali Krama yaitu upacara bhuta
yadnya yang dilakukan dengan menggunakan 5 ekor binatang ditambah dengan satu
ekor kerbau nyang dilaksanakan di pura Agung Besakih setiap 10 tahun sekali.
J]Caru Eka Dasa Rudra
Caru Eka Dasa Rudra merupakan upacara yadnya
yang di lakukan setiap100 sekali di pura Besakih.
2) Dengan menjaga dan menyelengrakan
kehidupan mahluk antara laian binatang-binatang
peliharaan serta tanaman-tanaman deng sebaik-baiknya
5.
Manusa
Yadnya
Manusa Yadnya ialah:Korban suci yang tulus
iklas untuk keselamatan serta kesejahteraanmanusia lainnya.
Cara-caranya ada bermacam –macam yaitu:
1)
Mengadakan
upacara selamatan pada waktu:
a)
Bayi
dalam kandungan atau Garbha Wedana ( megedong-gedongan)
b)
Bayi
baru lahir
c)
Bayi
berumur 42 hari ( tutug kambuhan)
d)
Bayi
berumur tiga bulan(nelu bulanin)
e)
Bayi
berumur enam bulan(otonan)
f)
Anak
meningkat dewasa(raja sewala)
g)
Potong
gigi(metatah)
h)
Pernikahan
2)
Mengadakan
usaha untuk kemajuan serta kebahagian anak dalam masyarakat antara lain:
pendidikan, dan kesehatannya(Dharma Santana Widhi)
3)
Menolong
serta menghormati sesama umat Hindu, misalnya: menghormati tamu (atiti Karma)
serta menolong orang lain dalam kesusahan serta mengadakan usaha-usaha sosial
lainnya untuk kesejahteraan masyarakat dan Negara(Dana Punya).
Upacara- Upacara Manusa Yadnya
1)
Upacara
Magedong-Gedongan
Upacara pagedong-gedongan ini dilaksanakan selambat-lambatnya pada saat kandungan
berumur 7 bulan, upacara ini dilaksanakan bertujuan untuk menyucikan janin
dalam kandungan, agar nantinya terlahir anak yang Suputra. Upacara
Pagedong-gedongan ini dilaksanakan setiap terjadinya suatu kehamilan pada si
Ibu.
2)
Bayi
Lahir
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru
dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si
kecil di dunia.
3)
Upacara
12 hari bayi baru lahir
Upacara
kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan pada saat puser bayi
lepas.
A. Sarana
:
Banten penelahan: Beras kuning, daun dadap.
Banten kumara: Hidangan berupa nasi putih
kuning, beberapa jenis kue,
buahbuahan (pisang emas), canang, lengawangi, burat wangi, canang sari.
Banten
labaan: Hidangan/ nasi dengan lauk pauknya.
Segehan empat buah dengan warna merah, putih,
kuning, dan hitam. Masingmasing berisi bawang, jahe dan garam.
Waktu Upacara kepus puser dilaksanakan pada saat bayi
sudah kepus pusernya, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tempat Upacara
ini dilaksanakan di dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si bayi.
Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh keluarga yang
tertua (sesepuh), atau jika tidak ada, orang tua si bayi.
4)
Bayi
berusia 12 hari
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara
yang disebut Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama
dheya) demikian pula sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat
berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.
5)
Bayi
Berusia 42 hari
Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari.
Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga
untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala).
6)
Upacara
tiga bulanan
Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105
hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon.
Sarana Upakara kecil:
panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
Sarana Upakara besar:
panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal,
banten panglukatan, banten turun tanah.
Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105
hari. Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di
rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si
anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya
digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga
bulan dilaksanakan di lingkungan rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh
Pandita atau Pinandita.
7)
Otonan
( Bayi Berusia 210 hari)
Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari
atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus
kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam
kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.
8)
Upacara
tumbuh gigi (Ngempugin)
Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang
pertama. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan
baik.
Sarana
:
Upacara
kecil : Petinjo kukus dengan telor.
Upacara besar :
Petinjo kukus dengan ayam atau itik, dilengkapi dengan tataban.
Waktu Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh
gigi yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Tempat
Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara ini
dipimpin oleh seorang pandita / pinandita atau salah seorang anggota keluarga
tertua.
9)
Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)
Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk
mempelajari ilmu pengetahuan.
Sarana
:
1. Banten byakala dan sesayut tatebasan.
2. Canang sari.
Waktu Saat si anak untuk pertama kalinya mengalami
tanggal gigi. Upacara ini dapat pula disatukan dengan wetonan berikutnya.
Tempat Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara
dipimpin oleh keluarga tertua.
Tata
Cara :
1. Pemujaan mempersembahkan sesajen kehadapan Hyang Widhi Wasa.
2. Si anak bersembahyang.
3. Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan natab sesayut / tetebasan.
4. Si anak diperciki tirtha.
10) Upacara menek deha (Rajaswala)
Upacara
ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk
memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak
menyesatkan bagi si anak.
Sarana
:
Banten
pabyakala, banten prayascita, banten dapetan, banten sesayut tabuh rah (bagi
wanita), banten sesayut ngraja singa (bagi Iaki-laki), banten padedarian.
Waktu Upacara menginjak dewasa (munggah deha) dilaksanakan
pada saat putra/ putrid sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat
melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak
Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya.
Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama.
11) Upacara
Potong Gigi
Upacara
ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada diri si manak.
Sarana
:
1. Sajen sorohan dan suci untuk
persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2. Sajen
pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta
perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta
sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah dihias.
3. Sajen peras daksina, ajuman dan canang
sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4.
Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai tebu,
supaya lebih enak rasanya.
5. Pengurip-urip yang terdiri dari
kunyit serta pecanangan lengkap dengan isinya.
Waktu Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat
dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat
pula dilaksanakan setelah berumah tangga. Tempat Seluruh rangkaian upacara
potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. Pelaksana Upacara potong
gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging
(sebagai pelaksana langsung).
12) Upacara Perkawinan (Pawiwahan /
Wiwaha)
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan
Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah
mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana
1. Segehan cacahan warna lima.
2. Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
3. Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5. Pejati.
6. Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu,
cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8. Bakul.
9. Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang
putih.
Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan
persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai
Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra).
Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata
cara
1.
Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai
mabhyakala dan maprayascita.
2.
Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak
tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan
mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai
Iaki-laki.
3.
Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten
dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
-
Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai
agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa
mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang
tua/leluhur.
-
Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita
bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya
menjadi tanggung jawab bersama.
-
Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut
sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim
patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier
(garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena
wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman
Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua
mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali
dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang
tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul)
dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah)
kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian
mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya
yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan
merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir,
pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar
pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan"
(Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua
mempelai sampai benang tersebut putus.
13)
Segehan.
Segehan adalah ritual
kurban atau caru dalam
tingkatan kecil atau sederhana dari suatu yadnya.
Tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur.
Oleh sebagian masyarakat Bali, misalnya di Kabupaten Badung juga dikenal dengan sebutan blabaran. Kata blabaran berasal dari kata blabar ’banjir’, mendapat sufiks –an menjadi blabaran berarti ‘kebanjiran’. Konon, sebutan itu digunakan berdasarkan mimpi yang dialami seseorang.
Oleh sebagian masyarakat Bali, misalnya di Kabupaten Badung juga dikenal dengan sebutan blabaran. Kata blabaran berasal dari kata blabar ’banjir’, mendapat sufiks –an menjadi blabaran berarti ‘kebanjiran’. Konon, sebutan itu digunakan berdasarkan mimpi yang dialami seseorang.
Maksudnya, apabila ada orang yang bermimpi terkena
musibah banjir atau kebanjiran, itu merupakan pertanda buruk. Sehubungan dengan
itu, orang yang bersangkutan harus segera mempersembahkan sesuatu kepadaTuhan atau manifestasi-Nya untuk menangkal mara bahaya
yang mungkin akan menimpanya.
Segehan juga
merupakan sebuah wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali yang memiliki
bentuk beraneka ragam, sesuai dengan keperluan.
Fungsi dari sěgěhan
ada empat, yaitu :
·
Untuk
permohonan.
·
Untuk
penghormatan
3. Sěgěhan Sah-Sah.
4. Sěgěhan Cah-cahan
6. Sěgěhan Wong-Wongan.
7. Segehan Kepel Gede
8. Segehan Tuutan.
10. Segehan Tulak.
Demikian dijelaskan beberapa jenis segehan dalam artikel Bhujangga Dharma Indonesia (ref), yang sebagaimana disebutkan pula dalam kutipan fungsi canang sari dan segehan, selain berisikan nasi kepel juga berisi :
·
Porosan Silih Asih yang bermakna,
pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh
hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa
Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
Garam,
bawang dan jahe merupakan simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada asalnya.
Demikian disebutkan segehan dari beberapa kutipan.
Demikian disebutkan segehan dari beberapa kutipan.
"SEMUA MATERI DI ATAS SUDAH SAYA RINGKAS. MATERI INI MUDAH DIPELAJARI DAN DIPAHAMI. SEMOGA BERMAFAAT YA. SALAM UMAT HINDU SEDHARMA."
Ada sumber bukunya tidak? Klo ada bagi dong kak
BalasHapusAda manfaat pelaksanaan yadny? Tolong bagikan. Trimakasih
BalasHapus